Reza Syawawi, peneliti di Transparency International Indonesia, mengurai apa kepentingan oligarki dalam agenda penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Ada dua isu penting yang belakangan memantik perhatian publik diranah politik yakni usul memperpanjang masa jabatan presiden dan penundaan penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024. Keduanya saling berkelindan sebagai satu paket kebijakan yang ditujukan untuk mengabadikan kekuasaan tanpa pembatasan.
Dua isu itu tentu bukan sebatas persoalan teknis menunda tahapan pelaksanaan pemilihan umum, tapi juga harus ditelisik dalam bingkai praktik oligarki yang tak pernah lepas dari fenomena pergiliran kekuasaan di Indonesia. Sekalipun kedua isu tersebut akhirnya akan tenggelam, para oligark selalu menemukan cara untuk memperkuat pengaruhnya dalam kekuasaan ekonomi, politik bahkan hukum.
Vedi Hadiz dan Richard Robison dalam “Reorganising Power in Indonesia, The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (2004)” menyebutkan kekuasaan lama masih sangat dominan dan menjadi bagian dari kekuasaan. Proses demokratisasi yang terjadi sejak era reformasi pada dasarnya tidak berhasil mengubur oligarki, tapi justru berhasil menggunakan prosedur demokrasi tersebut sebagai cara untuk memepertahankan dominasinya. Dalam kerangka oligarki demokratisasi memang telah mempengaruhi wajah politik Indonesia, tapi tanpa menyingkirkan kekuasaan oligarki (Michele Ford dan Thomas B Pepinsky, 2014).
Oligarki dan Politik Kartel
Sebuah realitas politik yang sulit dibantah jika sistem pemilihan umum telah menyediakan ruang yang begitu besar bagi para oligark untuk membiayai aktivitas elektoral. Prosedur pemilihan, yang menyediakan beragam instrumen pembatasan dan pengawasan terhadap pendanaan politik seolah-olah hanya menjadi sarana pertanggungjawaban administratif. Publik pun tidak cukup memiliki kapasitas untuk membongkar kotak pendanaan politik yang disponsori oleh oligarki.
Jeffrey Winters dalam “Oligarchy” (2011) juga memiliki kepercayaan yang sama bahwa pertahanan kekayaan (wealth defense) adalah konsep kunci (Ford, Pepinsky, 2014). Jadi, dominasi sumber daya material (uang) adalah cara untuk memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi.
Kepentingan oligark untuk mempertahankan kekayaannya tersebut bertemu dalam satu wadah dengan partai politik dalam pemilihan umum. Partai politik sebagai pemain utama dalam kontestasi elektoral membutuhkan sokongan pendanaan yang begitu besar untuk kepentingan meraup suara pemilih. Studi Burhanuddin Muhtadi (2020) setidaknya mengafirmasi kecenderungan penggunaan uang sebagai cara dan kebiasaan politisi untuk memperoleh dukungan politik dalam pemilu-pemilu pasca orde baru.
Lalu bagaimana membaca gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sebagai bagian dari strategi oligarki untuk mempertahankan dominasinya? Ada dua analisis yang bisa digunakan, pertama, pelaksanaan pemilu 2024 adalah pemilu serentak pertama kali dalam sejarah elektoral Indonesia yang akan menyelenggarakan pemilihan presiden/wakil presiden, kepala daerah dan anggotaa DPR/DPD/DPRD. Pembiayaan kampanye diperkirakan sangat membebani keuangan partai politik. Apalagi selama ini partai politik sangat tergantung dengan pembiayaan eksternal (pihak ketiga), ditambah dengan rendahnya bantuan negara dalam pembiayaan politik.
Secara global pembiayaan politik dari pihak eksternal semakin ditinggalkan karena merusak legitimasi partai. Pembiayaan oleh negara kemudian menjadi satu-satunya cara untuk menyeimbangkan pengaruh buruk dominasi pembiayaan eksternal, meskipun pembiayaan oleh negara juga tidak serta merta menjamin terjadinya akuntabilitas dalam proses politik (Marcus Mietzner, 2007). Selain itu, pembiayaan politik oleh negara juga berpotensi menggiring terjadinya kartel dalam pembiayaan. Ketika kompetisi berakhir, partai politik bertindak secara kolektif untuk menjamin keberlangsungan hidupnya (Ambardi, 2009).
Kedua, proses elektoral yang berimplikasi terhadap perubahan rezim politik dapat mengganggu kepentingan para oligark. Walaupun pada kenyataannya para oligark akan tetap ada dalam rezim politik manapun, mereka tetap harus memastikan bahwa siapapun pemimpin politiknya, dia akan menjamin kepentingan. mereka dalam konteks pertahanan kekayaan. Penundaan pemilihan umum bisa jadi menjadi strategi mengulur waktu untuk mempersiapkan pemenangan dalam kontestasi elektoral. Di sisi lain, perpanjangan masa jabatan dapat dinilai sebagai bentuk “kenyamanan” oligarki dalam rezim politik saat ini.
Masyarakat Sipil
Demokratisasi memang menghadirkan sistem politik yang lebih terbuka sekaligus memberikan peluang bagi oligarki untuk mendominasi institusi demokrasi. Karena itu, demokratisasi juga membutuhkan kekuatan penyeimbang baik dalam institusi negara maupun diluar negara.
Dalam konteks negara, keseimbangan kekuasaan semestinya muncul dari institusi penegak hukum yang relatif independen dan terpisah dari cabang kekuasaan lainnya. Hal ini juga memiliki tantangan besar, karena institusi penegak hukum sulit melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan politik. Apa yang terjadi dengan lembaga KPK memberikan pesan yang cukup kuat tentang dominasi oligarki dalam institusi negara, bahkan terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum.
Diluar institusi negara, pengawasan dari publik tentu menjadi penting. Keberadaan masyarakat sipil yang dianggap sedang mengalami pelemahan perlu ditelaah secara kritis. Ada kondisi ketika kebebasan sipil mengalami kemunduran yang membuat aspirasi politik mengalami tekanan dan ancaman terhadap individu-individu tertentu, bahkan dengan menggunakan tangan hukum untuk mengkriminalisasi setiap kritik.
Disinilah pentingnya peran media untuk ikut serta mengimbangi kekuasaan. Sejak reformasi ada kecenderungan media juga semakin kurang beragam karena dicengkram oligarki. Hal ini tentu sangat berimplikasi terhadap independensi serta reliabilitas pemberitaan, yang pada akhirnya melemahkan fungsi kontrol media terhadap pemerintah. Hasilnya sudah pasti mengancam kualitas demokrasi (Ross Tapsell, 2021).
Masyarakat sipil dan media yang independen seharusnya dapat memposisikan diri sebagai jangkar kemarahan publik terhadap dominasi oligarki dalam demokrasi, yang kini muncul dalam agenda penundaan pemiliha pemilu. Keberadaan oligarki dalam demokrasi hampir tak bisa dihindari sehingga ini menjadi tantangan bersama untuk memastikan kualitas demokrasi tidak semakin buruk.
Sumber: Koran Tempo edisi 7 April 2022